Suwardjono

Laman Staf Akademik Universitas Gadjah Mada

Pencarian


Bahasa Kita

Ketika menempuh sekolah master di Syracuse University, saya dituntut untuk menulis makalah semester, analisis kasus, dan tentu saja jawaban ujian dan menyampaikan gagasan secara lisan yang jelas dalam bahasa Inggris yang harus memenuhi standar bahasa akademik serta selancar perserta lain di kelas yang bahasa ibunya Inggris (native speakers). Ini berarti bahwa sambil belajar mata kuliah saya juga harus memperbaiki dengan penuh kesungguhan kemampuan berbahasa Inggris saya lebih dari apa yang pernah saya peroleh dan pelajari khususnya keterampilan menulis.

Lebih-lebih setelah tugas tertulis saya dinilai dan saya mendapat komentar: "Your writing is very poor." Saya bahkan dianjurkan untuk mengikuti lokakarya (kursus) enam minggu keterampilan menulis (writing skills) di School of Communication yang tentu saja harus bayar dengan tarif orang asing (lebih mahal). Saya memberontak dalam hati "Ini hanya cara atau akal-akalan Amerika untuk memperoleh kembali bantuannya" karena saya tugas belajar atas dana Bank Dunia. Akhirnya, dengan rasa "nggrundel" saya ikut juga kursus itu. Ternyata setelah mengikuti dua atau tiga kali temu kelas, saya menyadari bahwa saya memang tidak terampil menulis. Saya memperoleh kemampuan menulis hanya secara alamiah (dapat disebut cara monkey see monkey do) tanpa memperhatikan teknik dan kaidah menulis yang akhirnya saya dapatkan dari kursus itu. Akhirnya saya sangat antusias mengikuti kursus sampai selesai. Saya merefleksi pengalaman kursus itu kemudian bertanya dalam hati kapan keterampilan menulis dalam bahasa Indonesia masuk dalam kurikulum sekolah atau perguruan tinggi.

Setelah selesai program master, saya merasa (agak sombong atau “GR”) bahwa bahasa Inggris sudah menjadi bagian dari diri saya (menjadi second nature). Akhirnya, banyak pengetahuan, gagasan, citra, atau idea dari berbagai sumber berbahasa Inggris yang tersimpan di benak dalam struktur, gramatika, idiom, dan kosakata bahasa Inggris. Semangat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris ini berjalan terus sampai saya menyelesaikan program doktor bahkan sampai sekarang.

Karena tuntutan pekerjaan sebagai dosen, saya harus dapat menyampaikan gagasan-gagasan dalam benak tersebut dalam bahasa Indonesia tanpa kehilangan kecermatan dan kedalaman makna dalam bentuk karya tulis berupa buku, artikel, dan tulisan lainnya. Hal ini memaksa saya untuk mempelajari dan mendalami kembali pengetahuan bahasa Indonesia saya lebih dari apa yang saya peroleh secara alamiah. Saya mencoba untuk menerapkan teknik dan kiat menulis dalam kursus itu seandainya saya harus menempuh kursus keterampilan menulis dalam bahasa Indonesia. Setelah mendalaminya, saya memperoleh keyakinan bahwa bahasa kita (bahasa Indonesia) sebenarnya mempunyai kemampuan yang setara dengan bahasa Inggris untuk menyampaikan gagasan yang kompleks dan tinggi dalam berbagai bidang ilmu. Tentu saja kita harus bersedia untuk sedikit saja tekun belajar bahasa Indonesia. Dengan kata lain, semangat belajar bahasa Indonesia kita harus sama atau lebih dari semangat belajar bahasa Inggris.

Setelah memahami kemampuan dan karakteristik kedua bahasa tersebut, ternyata ada masalah baru. Apa yang saya angggap sebagai ekspresi gagasan yang tepat secara akademik (cermat) justru sering tidak dipahami pembaca lantaran susunan kalimat yang baku dan penggunaan istilah-istilah yang dianggap kaku atau asing di telinga bahkan lebih asing dari bahasa Inggris.

Sebenarnya bahasa Inggris untuk tujuan akademik/ilmiah itu juga sangat kaku dan sangat ketat mengikuti kaidah bahasa tetapi tidak dirasakan atau dipandang demikian oleh para pembelajar bahkan oleh akademisi. Sebaliknya, kalau bahasa Indonesia disajikan sama bakunya dengan bahasa Inggris untuk tulisan akademik, orang mengeluh akan kebakuan atau kekakuan bahasa Indonesianya. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa orang memandang dengan sebelah mata bahasa Indonesia.

Bahasa Inggris dapat menjadi bahasa tulis keilmuan karena orang dapat menangkap makna/isi sumber bacaan secara penuh hanya dengan mengandalkan struktur kalimat dan kosakata sumber tersebut tanpa harus dijelaskan secara langsung oleh penulis atau pihak lain. Kalau ada keraguan tentang makna kata atau istilah, orang dapat mencari kejelasan dari kamus. Dengan demikian ilmu pengetahuan dapat disebar secara luas dalam bentuk tulisan sebagai media komunikasi tanpa terikat waktu. Tulisan puluhan tahun yang lalu masih dapat dipahami secara penuh sekarang. Keefektifan komunikasi yang mengandalkan makna atas dasar struktur kalimat dan kosakata disebut komunikasi konteks rendah (low-contetx communication). Bahasa ilmiah atau akademik mestinya bersifat seperti ini. Hal ini sangat berbeda dengan gaya bahasa jurnalistik atau pergaulan yang sifatnya kontekstual karena pengguna ada di dalam konteks topik yang dibahas sehingga pemahaman ungkapan mengandalkan konteks situasi atau dialek lokal. Orang tetap dapat menangkap maksud walaupun struktur bahasa tidak lengkap bahkan keliru secara gramatika atau konseptual. Komunikasi semacam ini disebut komunikasi konteks tinggi (high-context communication).

Dalam komunikasi konteks tinggi kalau seseorang mau membeli rokok, dia tinggal bilang “Bu, Gudang Garam satu!” dan orang atau penjual sudah tahu maksudnya. Orang tidak perlu mengatakan “Apakah Ibu menjual rokok merek Gudang Garam? Saya membeli satu bungkus saja”. Kalau kita mengatakan demikian kita dapat disangka orang dari planet lain.

Perkembangan bahasa Indonesia sebenarnya cukup pesat bahkan tia diakui dalam dunia internasional. Hal ini ditunjukkan dengan masuknya bahasa Indonesia dalam mesin atau program penerjemah Google (http://translate.google.com). Program penerjemah itu cukup berdaya untuk tujuan umum tetapi masih ada kesalahan-kesalahan lantaran repositori kosakata yang belum kaya untuk mencakupi istilah-istilah teknis dalam bidang ilmu tertentu. Dengan kata lain, penerjemah ini menggunakan kata-kata yang sekarang nyatanya ada di kamus bukan yang seharusnya ada di kamus. Bahasa Indonesia belum secara tegas membedakan jenis kata terutama nomina dan adjektiva sehingga sering terjadi kesalahan penerjemahan.

Penerjemahan automatik melalui program komputer sangat dimungkinkan kalau struktur bahasa cukup baku dan terdapat kesepadanan (bukan kesamaan) struktur bahasa antarbahasa. Misalnya, dalam pembentukan istilah, bahasa Inggris mengikuti kaidah menerangkan-diterangkan (M-D) sedangkan bahasa Indonesia mengikuti kaidah D-M. Jadi, makin terstruktur dan konsisten suatu bahasa makin mudahlah proses penerjemahan automatik untuk berbagai keperluan baik akademik/ ilmiah maupun umum dengan kesalahan minimal.

Masuknya bahasa Indonesia dalam program penerjemah Google (dan penerjemah daring lainnya) merupakan berita menjanjikan karena hal itu menunjukkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa yang terterjemahkan (translatable). Hal yang perlu dicatat adalah bahwa tulisan yang bahasa Indonesianya baik dengan sendirinya hasil terjemahan oleh mesin juga baik (sedikit atau tanpa kesalahan baik kosakata maupun gramatika). Oleh karena itu, tugas kitalah (khususnya dunia akademik) untuk memberdayakan bahasa Indonesia menjadi bahasa keilmuan yang andal. Kemajuan teknologi informasi telah menjadikan kemampuan menerjemahkan bukan lagi merupakan isu atau hambatan, paling tidak secara teknis. Yang sekarang menjadi masalah bagi pembelajar dan guru/dosen adalah justru kemampuan menulis berbahasa Indonesia pada level yang memadai untuk mengungkapkan gagasan-gagasan akademik dan ilmiah secara cermat tanpa khawatir dituduh kaku atau kurang gaul karena ragam bahasa ilmiah mempunyai adat, adab, dan ragamnya sendiri. Kalau gagasan dan isi tulisan kita sangat penting dan kita ingin berbagi dengan orang asing, alih bahasa hanyalah masalah mengklik komputer (mungkin dengan sedikit penyuntingan).

Menu Bahasa Kita ini menyajikan gagasan-gagasan kecil dalam rangka mencapai idealisma tentang fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa keilmuan yang andal. Dengan menu ini, saya ingin berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang mengapa saya menulis berbagai karya tulis akademik seperti yang saya tulis yang mungundang berbagai komentar, kritik, dan stratagem seperti: “Bahasanya sulit dipahami, kurang gaul.”, “Bahasanya terlalu EYD.”, “Hanya ahli bahasa yang dapat memahami tulisannya.”, “Lebih paham kalau saya membaca bahasa Inggris.”, “Bahasanya terlalu kaku dan kurang akrab.”, “Bahasanya melangit tidak membumi.”, dan tanggapan lain yang senada.

Pengetahuan yang saya ingin berbagi tersebut berkaitan dengan aspek bahasa dalam karya tulis akademik/ilmiah khususnya penerjemahan istilah asing. Ada dua topik atau masalah bahasa yaitu pembentukan istilah yang disebut Seri Bahasa SWD dan cerita berfoto yang melukiskan keterjajahan bahasa Indonesia dalam arus globalisasi atau inggrisisasi serta penggunaan bahasa secara ceroboh yang disebut Seri Anarki Bahasa. Bagian kedua ini lebih merupakan hiburan daripada pelajaran walaupun nuansa akademik juga sedikit diselipkan. Selamat menikmati!

 
Laman ini dibuat oleh alifaiq menggunakan Joomla.
suwardjono